Selasa, 08 Desember 2009

tugas ISD tentang kewarganegaraan dan pemerintahan

Selamat Tinggal “Diskriminasi”?
“Masalah kewarganegaraan erat kaitannya dengan masalah pengakuan atas seseorang sebagai warga negara oleh negaranya. Masalah ini telah lama menjadi masalah yang berlarut-larut bagi bangsa Indonesia. Masalah kewarganegaraan muncul dalam bentuk adanya diskriminasi, kurang terjaminnya hak asasi manusia dan kurang terjaminnya keseimbangan hak antar warga negara. Masalah itu berhubungan dengan masalah warga negara yang merupakan keturunan dari suku-etnis atau ras dari bangsa lain yang oleh sebagian orang dianggap bukan termasuk bagian dari bangsa Indonesia.”
Demikian intisari dari program “Dialog Bersama KHN’ dengan narasumber Ketua KHN J.E. Sahetapy bersama Dyah Kusminati (dari Perkumpulan Keluarga Perkawinan Campur Melati). Disiarkan live oleh Radio 68 H Jakarta, Rabu, 27 Juli 2006, Pukul 08.06 – 09.00 WIB.
Dalam perkembangannya, masalah kewarganegaraan juga ditemui pada warga negara Indonesia yang menikah dengan warga negara asing, yang seringkali menjadi korban dalam hal ini ialah perempuan dan anak-anak yang status kewarganegaraannya menjadi tidak jelas.
Menurut Sahetapy, sisi yuridis atau pengaturan hukum terhadap kewarganegaraan memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap peliknya masalah kewarganegaraan. Tercatat bahwa sejak Indonesia merdeka, tidak terdapat pengaturan hukum yang bersifat luwes yang mampu mengatasi masalah-masalah kewarnegaraan seperti terjadinya diskriminasi dan lain-lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara merupakan undang-undang pertama yang disahkan oleh negara Republik Indonesia sebagai undang-undang yang mengatur mengenai kewarganegaraan, namun menurut Sahetapy undang-undang itu tidak cukup baik mengatur mengenai kewarganegaraan sehingga diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1947 tentang Memperpanjang Waktu untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan Kewargaan Negara Indonesia. “Undang-undang ini pun diubah kembali dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1948 tentang Memperpanjang Waktu Lagi untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan Kewargaan Negara Indonesia,” jelas Sahetapy.
Selanjutnya, mengenai kewarganegaraan diatur oleh Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
“Undang-undang yang disebutkan terakhir itu tentu tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan Republik Indonesia. Terlebih lagi dengan jatuhnya Rezim Presiden Suharto yang menandai masa dimulainya pembaruan hukum besar-besaran di Indonesia termasuk di dalamnya dengan mengamandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Sahetapy.
Oleh karena itu, dengan telah disahkannya Undang-undang tentang Kewarganegaraan pada tanggal 11 Juli 2006, Sahetapy berharap masalah-masalah kewarganegaraan yang selama ini terjadi dapat diminimalisasi. “Pengesahan Undang-undang tentang Kewarganegaraan ini cukup mengharukan karena dihadiri oleh kelompok masyarakat yang selama ini menanti adanya persamaan hak sebagai warga negara, hak untuk dilindungi oleh negara dan hak untuk tidak didiskriminasi,” ungkap Guru Besar Emeritus FH Unair ini.
Sahetapy lalu mengatakan, Undang-undang tentang Kewarganegaraan ini juga mempunyai terobosan mengenai pengertian warga negara dan bangsa Indonesia asli. Terobosan lainnya ialah Undang-undang tentang Kewarganegaraan ini juga memungkinkan adanya kewarganegaraan ganda secara terbatas, yaitu bagi anak hasil pernikahan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing. Bagi anak usia dibawah 18 tahun hasil pernikahan transnasional dapat memiliki kewarganegaraan ganda secara terbatas. Undang-undang tentang Kewarganegaraan ini juga menghapuskan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang menjadi masalah yang berlarut-larut selama ini.
Dimungkinkan kewarganegaraan ganda secara terbatas selain berdasarkan asas ius solis (berdasarkan tempat kelahiran) dan ius sanguinis (berdasarkan garis darah ayah), yakni berdasarkan asas kewarganegaraan ganda terbatas, yang hanya berlaku bagi mereka dengan kriteria tertentu yakni bagi anak di bawah usia 18 tahun dan belum menikah.
Untuk yang masuk dalam kriteria tersebut, menurut Sahetapy, maka setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin, ia berhak menentukan kewarganegaraannya sendiri dalam jangka waktu 3 tahun. Hal itu dimaksudkan dalam Undang-undang tentang Kewarganegaraan ini agar melindungi keharmonisan keluarga sesuai tuntutan pergaulan internasioal.
Dalam kerangka itu pula, menurut Sahetapy, undang-undang ini memberi kesempatan warga negara asing yang menjadi suami atau istri dari warga negara Indonesia, untuk menjadi warga negara Indonesia, sebagaimana warga negara asing itu juga berhak mendapat status permanent residence tanpa harus kehilangan kewarganegaraannya.
Undang-undang ini juga mengatur masalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, dengan memberikan perlindungan dan jaminan kepastian kewarganegaraan kepada anak tersebut. Meskipun demikian hal tersebut tidak bermaksud untuk melegalkan praktik hubungan suami istri di luar perkawinan yang sah.
Sahetapy juga berpendapat, meskipun Undang-undang tentang Kewarganegaraan dapat diterima oleh semua pihak, terdapat beberapa catatan mengenainya. Misalnya ketentuan sebagaimana tercantum dalam pasal 23 i dan pasal 26 ayat (1) yang dianggap tidak memberikan perlindungan kepada warga negara. Pasal 23 i yang menyebutkan bahwa seseorang dapat kehilangan kewarganegaraan karena berada di negara lain dalam jangka waktu lima tahun berturut-turut, dapat menyulitkan warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri, yang dalam keadaan tidak mampu mengurus pelaporan kewarganegaraannya.
Untuk mengatasi hal itu, Sahetapy menyarankan agar pemerintah bersikap pro aktif mengingatkan kepada warga negara Indonesia yang tersebar di seluruh dunia agar rutin melapor kepada kantor perwakilian pemerintah. “Pemerintah pun perlu memberikan kemudahan-kemudahan dalam proses pelaporan itu. Kemudian pasal 26 ayat (1) yang seharusnya tidak mencabut kewarganegaraan seseorang dengan alasan apapun kecuali hal tersebut secara tegas dinyatakan orang yang bersangkutan,” katanya.
Selain itu, yang patut diperhatikan ialah mengenai praktik “pungutan liar” dalam mengurus surat-surat yang berkaitan kewarganegaraan. Hal itu agar dapat dihapuskan. Rancangan Undang-undang tentang Keimigrasian yang akan segera dibahas nantinya perlu disesuaikan dengan prinsip dan ketentuan yang ada dalam Undang-undang tentang Kewarganegaraan. Rancangan Undang-undang tentang Keimigrasian perlu memberikan kemudahan memperoleh izin tinggal tetap pada keluarga yang anggota keluarganya masing-masing mempunyai kewarganegaraan yang berbeda.
Harapan akan adanya persamaan hak sebagai warga negara tanpa diskriminasi dengan disahkannya Rancangan Undang-undang tentang Kewarganegaraan ini jangan sampai terputus di tingkat praktik, terutama di tingkat peraturan pelaksanaannya. Mengenai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Kewarganegaraan tersebut, maka pemerintah diberikan waktu 6 bulan untuk menerbitkan peraturan pemerintah (PP), dan 3 bulan untuk mengeluarkan peraturan menteri (Permen). PP dan Permen ini sebagai aturan teknis dari undang-undang tersebut.


Dyah Kusminati, Perkumpulan Keluarga Perkawinan Campur Melati

Sebagai perempuan Indonesia, yang membahagiakan kami adalah hak kami untuk menurunkan warga Negara anak-anak dari perkawinan campuran sudah dimasukkan. Jadi anak-anak kami bukan hanya ikut warganegara dari ayah, melainkan juga dari ibu..
Implementasinya masih harus menunggu, karena ini bukan soal mudah. Belum semuanya mengerti bagaimana kalau nantinya kita mendaftarkan anak-anak kita yang sudah lahir.
Aturan sampai saat ini, bahwa anak-anak dianggap warga Negara asli atau mempunyai hubungan darah, mereka harus memiliki Kartu Ijin Menetap sementara. Itu cukup memakan biaya dan juga birokrasinya yang sangat berbelit. Jadi selama ini kewarganegaraan anak mengikuti anak. Dalam konteks ini, hak-hak kami sebagai perempuan Indonesia sudah dibatasi.
Dalam peraturan disebutkan kalau sesudah 5 tahun berturut-turut tinggal di Indonesia dan memiliki Kartu Ijin Menetap Sementara (Kitas), kita bisa meminta Kartu Ijin Tinggal Tetap (Kitap). Tetapi persyaratannya tidak mudah. Kalau sang ayah tidak disponsori oleh perusahaan yang mengontraknya 5 tahun berturut-turut dan sudah dalam posisi yang tinggi dalam perusahaan. Kadang-kadang banyak orang asing yang kontraknya hanya 3-4 tahun. Begitu mereka mendapatkan kerja diperusahaan lain, harus mulai dari awal lagi meski kita sudah memiliki Kitap.
Kita mengharapkan didalam peraturan pelaksanaannya ada yang boleh dan tidak dan selama masa jeda itu pelaksanaannya bagaimana. Kita mengharapkan kepada pemerintah/DPR untuk membentuk lembaga pengawas.
Kami memperjuangkan: hak anak sebagi warga negara, adanya kesetaraan gender, adanya sinkronisasi dengan UU yang lain (UU keimigrasian, administrasi kependudukan, UU pokok agraria), supaya jelas di lapangan.
[Mohammad Saihu]

Sabtu, 07 November 2009

Tugas Ilmu Sosial Dasar

DAMPAK PENAMBANGAN TIMAH BAGI MASYARAKAT BANGKA BELITUNG

Bekas-bekas penambangan TI umumnya dibiarkan saja sebagaimana adanya, tanpa adanya upaya mereklamasi. Dengan luasan wilayah penambangan antara dua sampai lima hektar, bolong-bolong pada permukaan tanah yang mereka gali merupakan pemandangan yang tampak mengenaskan. Penambangan timah inkonvensional di Kecamatan Belinyu kini masih terus berlangsung, termasuk di kawasan hutan lindung. Salah satunya adalah di kawasan hutan lindung Gunung Pelawan. Penambang secara sembunyi-sembunyi tetap menambang timah di kawasan terlarang tersebut. TI juga merusak daerah aliran sungai, kawasan sempadan pantai, hutan lindung, dan hutan produksi. Lubang-lubang bekas penambangan tandus karena tidak direklamasi.
Istilah TI sebagai kepanjangan dari Tambang Inkonvensional sudah sangat dikenal di kalangan rakyat Kepulauan Bangka Belitung. Ini merupakan sebutan untuk penambangan timah dengan memanfaatkan peralatan mekanis sederhana, yang biasanya bermodalkan antara 10 juta sampai 15 juta rupiah. Untuk skala penambangan yang lebih kecil lagi, biasanya disebut Tambang Rakyat (TR). TI sebenarnya dimodali oleh rakyat dan dikerjakan oleh rakyat juga. Secara legal formal TI sebenarnya adalah kegiatan penambangan yang melanggar hukum karena memang umumnya tidak memiliki izin penambangan.

Pada awalnya TI "dipelihara" oleh PT. Tambang Timah ketika perusahaan itu masih melakukan kegiatan penambangan darat di Kepulauan Bangka Belitung. TI sebetulnya muncul karena dulu PT. Tambang Timah melihat daerah-daerah yang tidak ekonomis untuk dilakukan kegiatan pendulangan oleh PT. Tambang Timah sendiri. Oleh karena itulah, kepada pengelola TI diberikan peralatan pendulangan mekanis yang sederhana. Peralatan yang dibutuhkan memang tidak terlalu rumit, cukup dengan ekskavator, pompa penyemprot air, dan menyiapkan tempat pendulangan pasir timah. Metodenya pun sederhana, tanah yang diambil dengan ekskavator kemudian ditempatkan di tempat pendulangan, dan kemudian dibersihkan dengan air. Lapisan tanah yang benar-benar berupa tanah, dengan sendirinya akan hanyut terbawa air, dan tersisa biasanya adalah batu dan pasir timah.

Pada mulanya pengelola TI melakukan kegiatan di dalam areal kuasa penambangan (KP) PT. Tambang Timah dan kalau sudah habis mereka bisa pindah ke tempat lain yang ditentukan oleh PT. Tambang Timah. Akan tetapi, setelah masuk di era reformasi, dari tahun 1998 ke atas, masyarakat mulai mencari-cari lokasi di luar KP PT. Tambang Timah sehingga jumlah TI berkembang pesat menjadi ribuan. Mereka kini di luar kontrol karena menambang kebanyakan diluar KP PT.Tambang Timah.

Kegiatan pertambangan inkonvensional timah di Pulau Bangka dalam setahun terakhir makin memprihatinkan. Seiring dengan itu pembangunan smelter (pabrik pengolahan menjadi timah balok) juga mengalami peningkatan sangat tajam. Meruyaknya smelter menjadi ancaman besar terjadinya pencemaran lingkungan. Hal ini dikarenakan smelter-smelter baru tersebut kurang mempertimbangkan sisi lingkungan. Kerusakan akibat kegiatan penambangan ilegal dengan mudah ditemukan, seperti di kawasan Kecamatan Belinyu.


 Lubang Tambang

Sebagian besar pertambangan mineral di Indonesia dilakukan dengan cara terbuka. Ketika selesai beroperasi, perusahaan meninggalkan lubang-lubang raksasa di bekas areal pertambangannya. Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang, terutama berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air. Air lubang tambang mengandung berbagai logam berat yang dapat merembes ke sistem air tanah dan dapat mencemari air tanah sekitar. Potensi bahaya akibat rembesan ke dalam air tanah seringkali tidak terpantau akibat lemahnya sistem pemantauan perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut. Di pulau Bangka dan Belitung banyak di jumpai lubang-lubang bekas galian tambang timah (kolong) yang berisi air bersifat asam dan sangat berbahaya.
 Air Asam Tambang

Air asam tambang mengandung logam-logam berat berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dalam jangka panjang. Ketika air asam tambang sudah terbentuk maka akan sangat sulit untuk menghentikannya karena sifat alamiah dari reaksi yang terjadi pada batuan. Sebagai contoh, pertambangan timbal pada era kerajaan Romawi masih memproduksi air asam tambang 2000 tahun setelahnya. Air asam tambang baru terbentuk bertahun-tahun kemudian sehingga perusahaan pertambangan yang tidak melakukan monitoring jangka panjang bisa salah menganggap bahwa batuan limbahnya tidak menimbulkan air asam tambang. Air asam tambang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Sekali terkontaminasi terhadap air akan sulit melakukan tindakan penanganannya.
 Tailing

Tailing dihasilkan dari operasi pertambangan dalam jumlah yang sangat besar. Sekitar 97 persen dari bijih yang diolah oleh pabrik pengolahan bijih akan berakhir sebagai tailing. Tailing mengandung logam-logam berat dalam kadar yang cukup mengkhawatirkan, seperti tembaga, timbal atau timah hitam, merkuri, seng, dan arsen. Ketika masuk kedalam tubuh makhluk hidup logam-logam berat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan tubuh dan dapat menimbulkan efek yang membahayakan kesehatan.
Akibat aktifitas liar ini, banyak program kehutanan dan pertanian tidak berjalan, karena tidak jelasnya alokasi atau penetapan wilayah TI. Aktivitas TI juga mengakibatkan pencemaran air permukaan dan perairan umum. Lahan menjadi tandus, kolong-kolong (lubang eks-tambang) tidak terawat, tidak adanya upaya reklamasi/ rehabilitasi pada lahan eks-tambang, terjadi abrasi pantai dan kerusakan cagar alam, yang untuk memulihkannya perlu waktu setidaknya 150 tahun secara suksesi alami.
 Hutan menjadi korban, alam pun mengamuk!

Legalitas pemanfaatan lahan yang tidak berkelanjutan dan pengeksploitasian sumber daya alam yang berlebihan tanpa mengindahkan keseimbangan ekosistem merupakan salah satu pemicu kerusakan lingkungan di Bangka Belitung. Keadaan ini merupakan imbas dari krisis ekonomi berkepanjangan yang berakibat pada krisis sosial. Selain itu pelaksanaan otonomi daerah yang kurang siap mengakibatkan eksploitasi sumberdaya yang tidak berkelanjutan. Pada akhirnya, aktifitas yang tidak lepas dari urusan ekosistem alam inipun membuat imbas berupa kerusakan lingkungan tatanan ekosistem pulau Bangka khususnya daerah yang mengalami degradasi kualitas dan kuantitas lahan yang telah mencakup luas ke beberapa aspek ekosistem Bangka pada umumnya, yakni khususnya wilayah hutan di Bumi Serumpun Sebalai ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan TI di Pulau Bangka telah memacu pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun, bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan TI. Aktivitas pertambangan yang dilakukan secara sporadis dan massal itu juga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang dahsyat. Sebagian besar penambang menggunakan peralatan besar sehingga dengan mudah mencabik-cabik permukaan tanah. Sisapembuangan tanah dari TI menyebabkan sungai.

Kerusakan yang ditimbulkan TI tidak hanya terjadi di lokasi penambangan wilayah daratan. Seperti yang diinformasikan sebelumnya, bahwasanya kerusakan alam bahkan terjadi hingga ke pantai (masyarakat Bangka menyebutnya TI Apung), tempat bermuara sungai-sungai yang membawa air dan lumpur dari lokasi TI. Di kawasan pantai, hutan bakau di sejumlah lokasi rusak akibat limbah penambangan TI. Selain itu di wilayah pesisir pantai, beroperasi juga tambang rakyat menggunakan rakit, drum-drum bekas, mesin dongfeng dan pipa paralon, yang mengapung. Para buruh menyelam ke dasar laut, mengumpulkan sedikit demi sedikit timah.

Bekas-bekas penambangan TI umumnya dibiarkan saja sebagaimana adanya, tanpa adanya upaya mereklamasi. Dengan luasan wilayah penambangan antara dua sampai lima hektar, bolong-bolong pada permukaan tanah yang mereka gali merupakan pemandangan yang tampak mengenaskan. Penambangan timah inkonvensional di Kecamatan Belinyu kini masih terus berlangsung, termasuk di kawasan hutan lindung. Salah satunya adalah di kawasan hutan lindung Gunung Pelawan. Penambang secara sembunyi-sembunyi tetap menambang timah di kawasan terlarang tersebut. TI juga merusak daerah aliran sungai, kawasan sempadan pantai, hutan lindung, dan hutan produksi. Lubang-lubang bekas penambangan tandus karena tidak direklamasi.

Perusakan hutan karena tambang membuat banyak wilayah kekeringan hebat pada musim kemarau. Jika dilihat dari udara sebelum mendarat di Bandara Depati Amir, wajah bumi Bangka Belitung dipenuhi kawah dan lubang menganga. Lubang-lubang itu terisi air hujan dan menjadi tempat subur perkembangan nyamuk anofeles. Akibatnya, penularan penyakit malaria di Pulau Bangka cukup tinggi.

________________________________________

Jumat, 06 November 2009

GDSS ( Sistem Penunjang Keputusan Kelompok)

Apa yang dimaksud dengan GDSS ?
Sistem penunjang keputusan kelompok (GDSS) adalah :
sistem berdasarkan komputer interaktif yang memudahkan
pemecahan atas masalah tak terstruktur oleh beberapa
(set) pembuat keputusan yang bekerja sama sebagai suatu
kelompok.
Komponen GDSS meliputi hardware, software, orang, dan
prosedur.
Sifat yang penting dari suatu GDSS sbb :
1. GDSS adalah sistem yang dirancang secara khusus,
bukan menyerupai konfigurasi dari komponen sistem
yang sudah ada
2. GDSS dirancang dengan tujuan untuk mendukung
kelompok pembuat keputusan dalam melakukan
pekerjaan mereka
3. GDSS mudah dipelajari dan digunakan
4. GDSS bisa bersifat “spesifik” atau bisa bersifat “umum”
5. GDSS berisi mekanisme built-in (yang sudah tersusun di
dalam sistem itu)
Aktifitas dasar yang terjadi di kelompok manapun dan yang
memerlukan dukungan yang berdasarkan komputer adalah
: pemanggilan informasi, pembagian informasi, dan
penggunaan informasi (Huber, 1984).
Pemanggilan informasi : melibatkan pemilihan nilai data
dari database yang ada maupun pemanggilan informasi
sederhana (termasuk sikap, opini, dan observasi informal)
dari anggota kelompok lain.

Pembagian informasi : menampilkan data pada layar
tampilan agar bisa dilihat oleh semua kelompok, atau
pengiriman data ke tempat terminal anggota kelompok
yang terpilih agar data tersebut bisa dilihat olehnya.
Pengguna informasi mencakup aplikasi teknologi software
(seperti paket modeling atau program aplikasi spesifik),
prosedur, dan teknik pemecahan masalah kelompok untuk
data dengan tujuan agar sampai pada keputusan
kelompok.

Teknologi GDSS

1. Hardware
Keperluan hardware minimal untuk setiap sistem
mencakup :
- peralatan input/output
- prosedur
- jalur komunikasi antara peralatan I/O dan prosesor
- layar tampilan untuk umum atau monitor perorangan
guna menampilkan informasi kepada kelompok
Yang diinginkan adalah suatu disain yang
memungkinkan setiap peserta bekerja secara
independen terhadap yang lain, bisa menampilkan kerja
/ hasil karya perorangannya kepada seluruh anggota,
dan melihat hasil karya orang lain dan karya kelompok
secara keseluruhan.

2. Software
Komponen software GDSS :
- database
- base model
- program aplikasi khusus
- interface

Beberapa sistem GDSS yang spesifik tidak memerlukan
database. Tetapi sebagian besar sistem yang canggih
akan terdiri dari database yang digabungkan dengan
base model, bahasa tingkat tinggi untuk penulisan
program, dan interface yang mempunyai tingkat
manajerial standar (grafik, paket statistik, spreadsheet,
dsb).
Komponen teknologi GDSS yang paling khusus adalah
software aplikasi yang dikembangkan secara khusus
untuk mendukung kelompok dalam proses keputusan.
Fasilitas yang terdapat dalam software ini diantaranya :
Fasilitas dasar :
- penciptaan teks dan file data, modifikasi, dan
penyimpanan
- word processing
- fasilitas pembelajaran untuk pemakai GDSS yang
belum mampu
- on line help
- worksheet, spreadsheet, decision trees, dan alat lain
untuk menampilkan angka dan teks secara grafis
- manajemen database
Fasilitas kelompok :
- peringkasan grafik dan bilangan
- menu yang memberitahu (prompt)
- program untuk prosedur kelompok khusus
- metode penganalisaan interaksi kelompok
- transmisi teks dan data

3. Orang-orang
Komponen “people” dari GDSS meliputi : anggota
kelompok dan “fasilitator kelompok” yang bertanggung
jawab atas beroperasinya teknologi GDSS dengan baik
pada saat GDSS digunakan
“Fasilitator kelompok” secara fisik bisa berada atau
bertempat di departemen SIM atau pusat informasi dan
hanya bertindak apabila diperlukan
“Fasilitator kelompok” diharapkan mampu diandalkan
untuk mengkoordinir aktivitas kelompok dan berfungsi
atau berperan sebagai interface antara kelompok dan
teknologi tsb.

4.Prosedur
Komponen prosedur dapat memudahkan operasi dan
membuat penggunaan teknologi oleh anggota
kelompok menjadi efektif. Prosedur ini mungkin hanya
berlaku untuk operasi hardware, dan software, atau
mungkin bisa dikembangkan lagi untuk mencakup
aturan mengenai pembahasan verbal di antara
anggota dan arus kejadian (event) selama meeting
kelompok.