Selamat Tinggal “Diskriminasi”?
“Masalah kewarganegaraan erat kaitannya dengan masalah pengakuan atas seseorang sebagai warga negara oleh negaranya. Masalah ini telah lama menjadi masalah yang berlarut-larut bagi bangsa Indonesia. Masalah kewarganegaraan muncul dalam bentuk adanya diskriminasi, kurang terjaminnya hak asasi manusia dan kurang terjaminnya keseimbangan hak antar warga negara. Masalah itu berhubungan dengan masalah warga negara yang merupakan keturunan dari suku-etnis atau ras dari bangsa lain yang oleh sebagian orang dianggap bukan termasuk bagian dari bangsa Indonesia.”
Demikian intisari dari program “Dialog Bersama KHN’ dengan narasumber Ketua KHN J.E. Sahetapy bersama Dyah Kusminati (dari Perkumpulan Keluarga Perkawinan Campur Melati). Disiarkan live oleh Radio 68 H Jakarta, Rabu, 27 Juli 2006, Pukul 08.06 – 09.00 WIB.
Dalam perkembangannya, masalah kewarganegaraan juga ditemui pada warga negara Indonesia yang menikah dengan warga negara asing, yang seringkali menjadi korban dalam hal ini ialah perempuan dan anak-anak yang status kewarganegaraannya menjadi tidak jelas.
Menurut Sahetapy, sisi yuridis atau pengaturan hukum terhadap kewarganegaraan memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap peliknya masalah kewarganegaraan. Tercatat bahwa sejak Indonesia merdeka, tidak terdapat pengaturan hukum yang bersifat luwes yang mampu mengatasi masalah-masalah kewarnegaraan seperti terjadinya diskriminasi dan lain-lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara merupakan undang-undang pertama yang disahkan oleh negara Republik Indonesia sebagai undang-undang yang mengatur mengenai kewarganegaraan, namun menurut Sahetapy undang-undang itu tidak cukup baik mengatur mengenai kewarganegaraan sehingga diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1947 tentang Memperpanjang Waktu untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan Kewargaan Negara Indonesia. “Undang-undang ini pun diubah kembali dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1948 tentang Memperpanjang Waktu Lagi untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan Kewargaan Negara Indonesia,” jelas Sahetapy.
Selanjutnya, mengenai kewarganegaraan diatur oleh Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
“Undang-undang yang disebutkan terakhir itu tentu tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan Republik Indonesia. Terlebih lagi dengan jatuhnya Rezim Presiden Suharto yang menandai masa dimulainya pembaruan hukum besar-besaran di Indonesia termasuk di dalamnya dengan mengamandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Sahetapy.
Oleh karena itu, dengan telah disahkannya Undang-undang tentang Kewarganegaraan pada tanggal 11 Juli 2006, Sahetapy berharap masalah-masalah kewarganegaraan yang selama ini terjadi dapat diminimalisasi. “Pengesahan Undang-undang tentang Kewarganegaraan ini cukup mengharukan karena dihadiri oleh kelompok masyarakat yang selama ini menanti adanya persamaan hak sebagai warga negara, hak untuk dilindungi oleh negara dan hak untuk tidak didiskriminasi,” ungkap Guru Besar Emeritus FH Unair ini.
Sahetapy lalu mengatakan, Undang-undang tentang Kewarganegaraan ini juga mempunyai terobosan mengenai pengertian warga negara dan bangsa Indonesia asli. Terobosan lainnya ialah Undang-undang tentang Kewarganegaraan ini juga memungkinkan adanya kewarganegaraan ganda secara terbatas, yaitu bagi anak hasil pernikahan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing. Bagi anak usia dibawah 18 tahun hasil pernikahan transnasional dapat memiliki kewarganegaraan ganda secara terbatas. Undang-undang tentang Kewarganegaraan ini juga menghapuskan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang menjadi masalah yang berlarut-larut selama ini.
Dimungkinkan kewarganegaraan ganda secara terbatas selain berdasarkan asas ius solis (berdasarkan tempat kelahiran) dan ius sanguinis (berdasarkan garis darah ayah), yakni berdasarkan asas kewarganegaraan ganda terbatas, yang hanya berlaku bagi mereka dengan kriteria tertentu yakni bagi anak di bawah usia 18 tahun dan belum menikah.
Untuk yang masuk dalam kriteria tersebut, menurut Sahetapy, maka setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin, ia berhak menentukan kewarganegaraannya sendiri dalam jangka waktu 3 tahun. Hal itu dimaksudkan dalam Undang-undang tentang Kewarganegaraan ini agar melindungi keharmonisan keluarga sesuai tuntutan pergaulan internasioal.
Dalam kerangka itu pula, menurut Sahetapy, undang-undang ini memberi kesempatan warga negara asing yang menjadi suami atau istri dari warga negara Indonesia, untuk menjadi warga negara Indonesia, sebagaimana warga negara asing itu juga berhak mendapat status permanent residence tanpa harus kehilangan kewarganegaraannya.
Undang-undang ini juga mengatur masalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, dengan memberikan perlindungan dan jaminan kepastian kewarganegaraan kepada anak tersebut. Meskipun demikian hal tersebut tidak bermaksud untuk melegalkan praktik hubungan suami istri di luar perkawinan yang sah.
Sahetapy juga berpendapat, meskipun Undang-undang tentang Kewarganegaraan dapat diterima oleh semua pihak, terdapat beberapa catatan mengenainya. Misalnya ketentuan sebagaimana tercantum dalam pasal 23 i dan pasal 26 ayat (1) yang dianggap tidak memberikan perlindungan kepada warga negara. Pasal 23 i yang menyebutkan bahwa seseorang dapat kehilangan kewarganegaraan karena berada di negara lain dalam jangka waktu lima tahun berturut-turut, dapat menyulitkan warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri, yang dalam keadaan tidak mampu mengurus pelaporan kewarganegaraannya.
Untuk mengatasi hal itu, Sahetapy menyarankan agar pemerintah bersikap pro aktif mengingatkan kepada warga negara Indonesia yang tersebar di seluruh dunia agar rutin melapor kepada kantor perwakilian pemerintah. “Pemerintah pun perlu memberikan kemudahan-kemudahan dalam proses pelaporan itu. Kemudian pasal 26 ayat (1) yang seharusnya tidak mencabut kewarganegaraan seseorang dengan alasan apapun kecuali hal tersebut secara tegas dinyatakan orang yang bersangkutan,” katanya.
Selain itu, yang patut diperhatikan ialah mengenai praktik “pungutan liar” dalam mengurus surat-surat yang berkaitan kewarganegaraan. Hal itu agar dapat dihapuskan. Rancangan Undang-undang tentang Keimigrasian yang akan segera dibahas nantinya perlu disesuaikan dengan prinsip dan ketentuan yang ada dalam Undang-undang tentang Kewarganegaraan. Rancangan Undang-undang tentang Keimigrasian perlu memberikan kemudahan memperoleh izin tinggal tetap pada keluarga yang anggota keluarganya masing-masing mempunyai kewarganegaraan yang berbeda.
Harapan akan adanya persamaan hak sebagai warga negara tanpa diskriminasi dengan disahkannya Rancangan Undang-undang tentang Kewarganegaraan ini jangan sampai terputus di tingkat praktik, terutama di tingkat peraturan pelaksanaannya. Mengenai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Kewarganegaraan tersebut, maka pemerintah diberikan waktu 6 bulan untuk menerbitkan peraturan pemerintah (PP), dan 3 bulan untuk mengeluarkan peraturan menteri (Permen). PP dan Permen ini sebagai aturan teknis dari undang-undang tersebut.
Dyah Kusminati, Perkumpulan Keluarga Perkawinan Campur Melati
Sebagai perempuan Indonesia, yang membahagiakan kami adalah hak kami untuk menurunkan warga Negara anak-anak dari perkawinan campuran sudah dimasukkan. Jadi anak-anak kami bukan hanya ikut warganegara dari ayah, melainkan juga dari ibu..
Implementasinya masih harus menunggu, karena ini bukan soal mudah. Belum semuanya mengerti bagaimana kalau nantinya kita mendaftarkan anak-anak kita yang sudah lahir.
Aturan sampai saat ini, bahwa anak-anak dianggap warga Negara asli atau mempunyai hubungan darah, mereka harus memiliki Kartu Ijin Menetap sementara. Itu cukup memakan biaya dan juga birokrasinya yang sangat berbelit. Jadi selama ini kewarganegaraan anak mengikuti anak. Dalam konteks ini, hak-hak kami sebagai perempuan Indonesia sudah dibatasi.
Dalam peraturan disebutkan kalau sesudah 5 tahun berturut-turut tinggal di Indonesia dan memiliki Kartu Ijin Menetap Sementara (Kitas), kita bisa meminta Kartu Ijin Tinggal Tetap (Kitap). Tetapi persyaratannya tidak mudah. Kalau sang ayah tidak disponsori oleh perusahaan yang mengontraknya 5 tahun berturut-turut dan sudah dalam posisi yang tinggi dalam perusahaan. Kadang-kadang banyak orang asing yang kontraknya hanya 3-4 tahun. Begitu mereka mendapatkan kerja diperusahaan lain, harus mulai dari awal lagi meski kita sudah memiliki Kitap.
Kita mengharapkan didalam peraturan pelaksanaannya ada yang boleh dan tidak dan selama masa jeda itu pelaksanaannya bagaimana. Kita mengharapkan kepada pemerintah/DPR untuk membentuk lembaga pengawas.
Kami memperjuangkan: hak anak sebagi warga negara, adanya kesetaraan gender, adanya sinkronisasi dengan UU yang lain (UU keimigrasian, administrasi kependudukan, UU pokok agraria), supaya jelas di lapangan.
[Mohammad Saihu]
Selasa, 08 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar