Senin, 26 April 2010

Akhlaq: Induk Etika

Pelaksanaan etika profesi di bidang hukum menyangkut masalah hati nurani, maka diperlukan integritas moral dari para individu pemegang profesi. Untuk itu, diperlukan penghayatan dan pengamalan agama. Demikian juga masalah etika berkaitan dengan pandangan hidup dan persoalan-persoalan kesusilaan. Pandangan hidup ini dalam kerangka Bangsa Indonesia tidak dapat terlepas dari Falsafah Pancasila, sehingga sila-sila Pancasila harus menaungi tuntunan yang ditentukan dalam etika profesi. Oleh sebab itu, pelaksanaannya merupakan realisasi tingkah laku fungsional dari pelaksanaan tugas dan kewajiban profesi yang berke-Tuhan-an, berperikemanusiaan, bersemangat persatuan, berkerakyatan dan berkeadilan. Pendek kata, unsur agamis menjadi masukan pelaksanaan etika dalam pelaksanaan riilnya dalam berprofesi, yang bersubtansi cita Ketuhanan Yang Maha Esa.

Memaknai ajaran dan nilai-nilai agama yang menjadi orientasi manusia sebagai “perbuatan baik”, dalam hal ini kita memasuki apa yang disebut Akhlaq, yang lebih khusus lagi sebagai ihsan yang merupakan kesadaran sebagai penyeimbang rasionalitas dan membentuk persepsi keagamaan yang intiutif melalui penghayatan dan pengamalan tindakannya.

Al ihsan mencakup pengertian segala perbuatan yang baik, semua interaksi antara manusia dengan Tuhannya, atau antar manusia dengan sesama maupun lingkungannya, yang dapat mengangkat dan meningkatkan martabat dan kedudukan kemanusiaannya, mengembangkan kualitas dirinya dan juga dapat mendekatkannya kepada Tuhan. Al ihsan ini meliputi tiga dimensi kesadaran batin, yaitu:

1) kepekaan teologis dan intensitas hubungan antara makhluk-makhluk dengan Tuhan: ajaran Hadis,”Beribadahlah kepada Allah seakan-akan kamu melihat secara langsung”. Al Ghazali= seseorang menghadap sang raja, dapat melihat pandangan raja tertuju kepadanya, disebut MAQAM MUSYAHADAH. “Kalau tidak mampu melihatnya, sadarilah bahwa Allah selalu melihatmu”. Ibaratnya: orang buta menghadap raja, disebut MAQAM MURAQABAH.

2) kepedulian sosial: banyak keprihatinan thd realitas sosial mulai dari rumah tangganya sendiri sampai dengan yang lebih luas (bakti orang tua, menyantuni anak yatim, orang miskin, orang-orang tertindas), bahkan hubungan manusiawi yang lebih luas (Al Baqarah 177, Az Dariayt 15-19, An Nisa 36, ali Imran 134). Hadis-riwayat Imam Muslim, Nabi bersabda:”Sesungguhnya Allah mewajibkan al ihsan dalam segala masalah. Oleh karena itu, jika kalian berperang pun harus dengan cara ksatria, dan jika menyembelih binatang pun harus dengan cara yang baik”. Kisah Abu Darda: hidup zuhud (asetik).

3) ketahanan mental: menghadapi tantangan kehidupan yang sulit, ketabahan menekuni suatu pekerjaan yang berat, sabar menghadapi musibah, juga dalam menghadapi godaan materi, dsb.

Hal tersebut dihayati dan dipraktekkan - seseorang menjadi private culture.

Rosul AL MUHSINUN= orang yang melaksanakan ihsan (As Shaffaat, 80,110, 121, dan 131).

Al Ghazali mengemukakan bahwa nilai-nilai etis yang diajarkan oleh Islam bersumber pada empat prinsip penting, yang disebut sebagaiummahatul akhlaq (nilai induk ajaran moral). Ini mentukan kesadaran dan kegiatan batin sesorang (a’maalul-qulub) yang pada gilirannya akan mempengaruhi penampilan sikap-laku dan tindakan fisik (a’maalul-jawarih). Keempat prinsip penting tersebut adalah:

a. Al hikmah merupakan kemampuan kognitif dalam menetapkan pilihan yang terbaik dalam pemikiran, sikap maupun tindakan;

b. Al‘ adalah merupakan kondisi mental yang memiliki kemampuan pengendalian terhadap nafsu, emosi maupun subyektivitas, dan mengarahkan kecenderungannya pada kebenaran dan obyektivitas;

c. Al‘iffah merupakan ketahanan diri dalam menata sikap dan tindakan sehingga tidak terjebak dalam ketamakan materi, prestise, dan selera hedonistik;

d. As Syaja’ah merupakan keberanian secara moral untuk melakukan tugas maupun kewajiban dengan pertimbangan nalar dan integritas moral.

0 komentar:

Posting Komentar