Jumat, 08 Januari 2010

cara jejaring social memprovokasi masyarakat

cara jejaring social memprovokasi masyarakat

Situs pertemanan atau jejaring sosial menjadi semakin populer. Ini tak lepas dari kekuatan ranah maya yang mampu memobilisasi massa dan mempengaruhi dunia nyata. Dalam ensiklopedia online Wikipedia, jejaring sosial atau jaringan sosial disebut sebagai suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul (yang umumnya adalah individu atau organisasi) yang diikat dengan satu atau lebih tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, ide, teman, keturunan, dan lain-lain.

Penelitian dalam berbagai bidang akademik telah menunjukkan bahwa jaringan sosial beroperasi pada banyak tingkatan. Mulai dari keluarga hingga negara, dan memegang peranan penting dalam menentukan cara memecahkan masalah, menjalankan organisasi, serta derajat keberhasilan individu dalam mencapai tujuannya.

Saat ini membentuk jejaring sosial bukan perkara sulit. Sebab melalui internet, semua orang di belahan bumi manapun dapat berkomunikasi tanpa sekat ruang dan waktu. Persis seperti ramalan Marshall McLuhan dalam Understanding Media: Extension of A Man pada awal tahun 60-an lalu, perkembangan teknologi komunikasi akan menjadikan dunia sebagai sebuah desa global (global village). Terbentuk dari penyebaran informasi yang sangat cepat dan masif di masyarakat, serta sangat terbuka dan dapat diakses oleh semua orang.

Kini hal itu sudah terbukti. Global village menjelaskan bahwa tidak ada lagi batas waktu dan tempat yang jelas. Informasi dapat berpindah dari satu tempat ke belahan dunia lain dalam waktu yang sangat singkat, menggunakan teknologi internet. McLuhan saat itu meramalkan pada saatnya nanti, manusia akan sangat tergantung pada teknologi, terutama teknologi komunikasi dan informasi.

Kenyataan tersebut tidak dapat diingkari lagi. Bahkan Presiden Amerika Serikat Barack Obama, saat berkompetisi menjadi orang nomor satu di negeri itu, telah memanfaatkan internet untuk menjaring pendukung. Sehingga ia dinilai telah memindahkan politik kepresidenan masuk ke abad digital. Barack Obama memiliki situs jejaring sosial yang populer, tercatat antara lain Facebook, Twitter, My Space, Linkedin, Friendster hingga You Tube.

Hasilnya? Meski belum ada penelitian resmi berapa persen sumbangan suara yang didapat dari kampanye via jejaring sosial tersebut, Barack Obama kini sudah menempati Gedung Putih. Begitu juga “advokasi” para Facebookers terhadap Prita dan Candra-Bibit yang membuat mereka mendapat penangguhan penahanan.

Kekuatan jejaring sosial tidak hanya dalam hal dukung mendukung, tapi juga sudah masuk ke berbagai dimensi kehidupan. Mulai dari mencari teman yang tidak ketemu selama puluhan tahun, hingga mencari barang hilang. Tengok saja beberapa judul berita di media massa yang melibatkan situs jejaring sosial berikut: Pemilik Kamera Ditemukan Lewat FB, Facebook Gagalkan Anak Bunuh Diri, Facebook Bantu Tangkap Perampok dan masih banyak lagi.

Parlemen Online
Melihat kekuatan jejaring sosial tersebut, tak heran kalau kemudian muncul istilah parlemen online. Bahkan menurut peneliti LIPI, Jaleswari Pramodhawardani, parlemen online berhasil menjalankan fungsi parlemen sebenarnya di Senayan. Setidaknya kasus Prita versus Rumah Sakit Omni dan KPK versus Polri, yang mereka usung, ikut memengaruhi kebijakan publik yang diputuskan kemudian (Kompas, Jumat, 6 November 2009)

Demonstrasi model online diperkuat parlemen jalanan, akan menjadi kekuatan besar. Bahkan mampu melebihi peran parlemen sebenarnya, yang kurang responsif melihat berbagai persoalan sensitif di mata publik. Berkembangnya parlemen online ini menandakan komunikasi rakyat mempunyai bargaining position kuat di negara demokrasi. Maka vok populi vok dei menjadi bermakna setelah dunia menjadi global village.

Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Pimred Vivanews Karaniya Dharmasaputra di blognya menulis: “Sejumlah pengamat politik dan media meyakini gelombang pesan di Twitter–yang cuma 140 karakter itu–ternyata telah memainkan peran penting dalam mengobarkan revolusi!”. Fenomena itu antara lain telah terjadi di Moldova, negara kecil eks Uni Soviet di tenggara Eropa.

Pada awal April 2009 lalu, para pemrotes yang sebagian besar anak muda memanfaatkan Twitter, Facebook, dan SMS untuk mengorganisir demonstrasi anti komunis. Sekitar 20 ribu orang turun ke jalan, berdemo di depan istana Presiden Vladimir Voronin, dan bahkan menduduki gedung parlemen di Chisinau, ibu kota Moldova.

Saking takutnya, pemerintah akan metoda baru revolusi ini, di hari itu jaringan internet di Chisinau tiba-tiba putus di tengah kerusuhan. Natalia Morar si pemimpin “Revolusi Twitter” ini, awalnya hanya berharap pesan yang dikirimnya melalui Twitter akan mengumpulkan ratusan orang saja. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh membelalakkan mata.

Semakin kuatnya jejaring sosial di dunia maya ini, tak lepas dari perkembangan teknologi world wide web yang melangkah ke era Web 2.0. Dimana teknologi internet menjadi mudah diakses (open source) dan memungkinkan semua pengguna saling memberi masukan (komunikasi dua arah). Sehingga terjadilah demokratisasi dalam dunia digital.

Tak heran kalau kemudian seorang citizen journalist menulis gagasan radikal di sebuah portal berita, membentuk Dewan Perwakilan Facebookers (DPF). Alasannya, dunia maya kini sudah tidak lagi berada di awang-awang. Tapi sudah menjadi gerakan pragmatis yang bisa mengubah nasib orang, mengubah konstalasi politik, atau bisa saja suatu saat akan mengubah wajah dunia.

Melihat realitas yang terjadi akibat pengaruh jejaring sosial, kekuatan ini tidak bisa dianggap remeh. Apalagi saat ini informasi dan komunikasi sangat terbuka. Begitu juga peran media massa dalam mentransformasi pesan dari jejaring sosial ke khalayak yang lebih luas. Maka situs jejaring sosial bukan cuma untuk berbagi urusan cinta dan sambal belacan. Lebih dari itu, jejaring sosial telah merevolusi komunikasi antarmanusia, bahkan komunikasi politik. (*)

Sumber : http://izzasatria.ngeblogs.com/2009/12/11/6/

0 komentar:

Posting Komentar